Dimas Kanjeng Taat Pribadi, Pahlawan Dari Abad yang Salah

Ridho Haga Pratama
4 min readAug 16, 2017

Dalam keengganan bekerja, ingin rasanya imajinasi itu menjadi nyata, “malas kerja? Gandakan saja!” Tapi apakah kesuksesan tanpa kerja itu dimungkinkan?

Bumi selalu menyimpan banyak kejutan. Apa diyakini sebagai domain surga diklaim dapat diwujudkan oleh manusia Indonesia. Berkat paparan media pada kitaran Oktober 2016 silam kita mengenalnya: Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Pria ini konon diberi karomah super dari yang Maha Kuasa untuk melakukan penggandaan uang. Jika semula uang adalah hasil yang diperoleh sebagai akibat dari pertukaran dengan komoditas (perdagangan) atau upah (kerja), maka kali ini proses itu dapat dilewati. Seperti isi buku-buku motivasi ala Robert Kiyosaki, uang menghasilkan uang, komoditas tak perlu masuk dalam skenario. Ini jelas temuan menggembirakan, lebih menggembirakan dari temuan ekstrak kulit manggis itu.

Namun setiap pelajar Fakultas Ekonomi yang mendengarkan kuliah Ekonomi Pengantar dan mengerjakan tugas dengan tekun harusnya tahu dengan pasti, peredaran uang berlebih tanpa diimbangi dengan jaminan produksi komoditas di sektor riil dapat berakibat inflasi. Ambil contoh, punya uang 10 ribu harga roti seribu, punya uang 100 ribu harga roti jadi 10 ribu. Penggandaan jumlah uang tanpa diikuti penggandaan komoditas tidak akan merubah jumlah komditas yang mampu dibeli. Ini mungkin makna sejati dari sebuah pepatah, banyak uang tapi tidak kaya. Kita belajar: uang tidak memperoleh nilainya sendiri. Marx menunjukkan bahwa uang tak lebih dari sekedar representasi nilai dari komoditas, dan komoditas adalah representasi dari kerja. Nilai uang dijamin oleh nilai total komoditas, dan komoditas hanya dimungkinkan ada sebagai akibat dari kerja produksi. Uang, karenanya, terikat pada relasi sosial.

Menggandakan jumlah uang tanpa diikuti dengan memperbanyak komoditas dan kerja yang menjadi topangnya tak ubahnya mencoba membuat sistem yang membolehkan mahasiswa memperoleh ijasah tanpa kuliah atau nilai A tanpa belajar. Sekali lagi, Uang bergantung pada komoditas layaknya IPK kuliah bergantung pada kompetensi. Bukan ijasah yang membuat orang kompeten, sebaliknya, kompetensilah yang menentukan ijasah. Begitupun dengan uang. Nominal uang tidak menentukan nilai komoditas, nilai komoditaslah yang menentukan nilai uang. Agaknya pemahaman ini yang membuat Dimas Kanjeng tak akan pernah mungkin dipertimbangkan jadi kandidat gubernur Bank Indonesia, meskipun gaya parlentenya sudah layak menggantikan Donald Trump.

Begitulah pandangan ekonomi hari ini. Andai nilai uang tak perlu bergantung pada komoditas, nasib Dimas Kanjeng pasti berbeda. Andai ia hidup pada masa uang masih berupa emas, ia tak perlu mengkhawatirkan inflasi. Berbeda dengan uang kertas yang dijamin oleh komoditas, emas dijamin oleh nilai intrinsik sifat alaminya. Oleh karena itu nilai emas tidak begitu bergantung padakomoditas.Dalam dirinya sendiri, emas juga adalah komoditas. Berdasarkan analisis ini, saya berpendapat, sesungguhnya Dimas Kanjeng Taat Pribadi adalah pahlawan. Ia hanya sial karena lahir dari rahim dan abad yang salah. Coba saja ia lahir antara 6 hingga 4 abad lebih cepat dan dikandung dalam rahim orang Eropa, ia niscaya jadi filsuf besar.

Abad yang Tepat untuk Dimas Kanjeng

Jika harus menunjuk, saya akan menunjuk Eropa antara abad ke-15 hingga abad ke-17 untuk Dimas Kanjeng. Ada 3 alasan utama. Pertama, Eropa pada abad 15 hingga 17 menggunakan uang yang belum dijamin oleh komoditas, tapi oleh sifat alaminya. Uang di Eropa kala itu adalah emas.Kedua, Eropa masa itu memang mengalami perluasan pasar berkat penjelajahan samudra, sayangnya pasokan emas terlalu rendah untuk mengimbanginya. Jumlah uang beredar yang tak diimbangi dengan pasar yang meluas berakibat pada stagnannya volume perdagangan. Inilah salah satu kelemahan uang emas kala itu. Uang kertas dapat diproduksi kapanpun, tapi emas hanya dapat diperoleh dari tambang. Singkatnya, Eropa mengalami krisis finansial karena kekurangan uang emas beredar. Ketiga, Pada masa krisis finansial ini, literatur-literatur ilmu alkimia di Eropa berkembang pesat. Sekedar informasi, apa yang menonjol dari ilmu Alkimia adalah kajiannya tentang kemungkinan untuk mengubah logam biasa menjadi emas.

Lantas apakaitan antara uang emas, krisis finansial Eropa, dan perkembangan ilmu alkimia ini? Jawabannya sangat sederhana. Penyebab krisis finansial ini seperti disebutkan di atas adalah rendahnya pasokan emas. Jika dengan mempelajari dan mempraktekkan alkimia, logam biasa akhirnya dapat diubah menjadi emas, maka Eropa tak perlu bergantung pada tambang untuk memproduksi emas. Jika emas akhirnya dapat diproduksi, pasokan uang dapat ditingkatkan mengimbangi perluasan pasar, krisis finansialpun dapat teratasi, perdagangan jadi lancar, masalah selesai. Adalah sebuah tindakan yang rasional jika kemudian pusat-pusat studi alkimia akhirnya menjamur untuk mengejar solusi ini.

Nasib pusat-pusat studi ini mudah ditebak. Studi ini mengalami kebuntuan. Lambat laun ketertarikan pada ilmu ini semakin memudar, tapi tidak dengan krisis finansialnya. Sesungguhnya di sinilah waktu manggung bagi Dimas Kanjeng Taat Pribadi dengan karomah penggandaan uangnya lengkap dengan eyeliner yang subhanallah ciamik itu. Karomahnya memungkinkan Dimas Kanjeng menjadi solusi alternatif krisis finansial Eropa. Karomahnya dapat menggantikan gagalnya fungsi alkimia untuk memproduksi uang (emas). Alih-alih memproduksi, Dimas Kanjeng dapat langsung secara gaib menggandakan uang. Dari manapun kita melihatnya, ini bahkan lebih hemat biaya dari alkimia yang membutuhkan cairan batu filsuf apalah itu. Sejarah jelas akan berubah. Michael Hart harus mengakui bahwa penggandaan uang lebih spektakuler dari penemuan listrik, dan karenanya membuat nama Taat Pribadi berada pada peringkat 2 dari 100 orang berpengaruh di dunia menggantikan Isaac Newton, tepat satu peringkat di bawah Muhammad SAW. Judul salah satu bab buku sejarah moneter Murray Rothbard akan berbunyi, “Tak mampu produksi uang emas? Gandakan saja.”

Dimas KanjengTaat Pribadi di Indonesia pada abad 21, empat abad setelah proposal Lingkaran Hartlib untuk mengganti uang emas dengan uang kertas, yang nilainya dijamin oleh sejumlah tanah, itu diterima. Revolusi finansial abad 17 itulah yang menghasilkan uang yang kita kenal hari ini. Satu-satunya kesempatan Dimas Kanjeng dapat menjadi pahlawan adalah ketika uang masih dijamin oleh nilai intrinsik sifat alaminya, yakni emas. Kini kesempatan itu pupus, hanya terlambat empat abad digantikan uang kertas yang dijamin oleh produksi komoditas. Dimas Kanjeng boleh saja mampu menggandakan uang, tapi komoditas yang jadi penopangnya tak bisa digandakan tanpa kerja. Maka untuk setiap orang yang mengejar kesuksesan finansial melalui karomah Dimas Kanjeng Taat Pribadi, alangkah baiknya baiknya mencamkan baik-baik nasihat dari seorang ibu ini untuk putranya yang tak kunjung wisuda, “mau sukses? Makanya cepetan kerja!”

Oleh:

Ridho Haga Pratama*

*Pegiat Diskusi Jong Prawira dan Pendiri Mahzab Tampanisme (sedang berproses untuk segera sukses)

**Pernah dipublikasi di Newsletter Ekonomika edisi Khusus Kaleidoskop akhir tahun 2016

--

--