Kekerasan Dalam Ilusi Identitas

Ridho Haga Pratama
4 min readNov 17, 2017
  • Judul : Kekerasan dan Identitas
  • Jenis Buku : Nonfiksi
  • Penulis : Amartya Sen
  • Penerjemah : Arif Susanto
  • Penerbit : Marjin Kiri
  • Tahun Terbit : 2016
  • Tebal : xxii+242 halaman

Sebuah karya Robert Putnam dalam kepustakaan tentang modal sosial menunjukkan dengan cukup jelas bagaimana kesamaan identitas dalam suatu komunitas sosial dapat membuat kehidupan di komunitas tersebut berjalan jauh lebih baik. Karenanya, rasa keterikatan seseorang dalam suatu identitas komunitas kelompok kemudian dipandang sebagai suatu sumber daya layaknya modal.



Mengiyakan kesimpulan Putnam, Amartya Sen sepakat bahwa perasaan akan adanya kesamaan identitas dapat mendorong satu pihak untuk merangkul pihak lain secara bersahabat. Dampak kesamaan identitas ini dapat bewujud seperti ini: lebih mudah bagi seorang perantau untuk membantu sesama perantau lainnya jika mereka berasal dari daerah yang sama, menggunakan bahasa yang sama, apalagi bermarga sama.



Namun peraih Nobel Ekonomi 1998 ini juga punya catatan tambahan, “suatu rasa akan identitas juga dapat sungguh-sungguh membuat orang menampik yang lain.” Suatu anggota komunitas dari daerah yang sama dapat terlihat ramah pada satu sama lain dan bahu-membahu dalam memenuhi kebutuhan hidup tetangganya. Lalu di saat lain, kelompok ramah ini dapat berubah menjadi pihak garang yang melakukan kekerasan pada kelompok pendukung klub sepak bola daerah lain. Uniknya, keramahan dan kekerasan ini sama-sama dilakukan atas nama identitas: ramah pada yang sama dan marah pada yang berbeda.



Jika kesamaan identitas adalah sumber bagi keramahan dan rasa bersahabat, dan keberadaan mereka yang memiliki identitas lain adalah sumber bagi segala permusuhan dan kekerasan, lalu apakah konsekuensi logis berpikir seperti ini? Sederhana, satu-satunya jalan meniadakan kekerasan adalah menyeragamkan identitas semua orang yang sebelumnya beragam. Selanjutnya, pola pikir ini akan menjatuhkan manusia pada fasisme ala Hitler. Sebab dalam prosesnya, upaya penyeragaman ini pun mengambil jalan kekerasan dengan memberangus keberagaman.



Dalam buku ini, Sen mengambil argumen yang berbeda. Menurut dia, sumber kekerasan sejatinya ada pada kecacatan logika, yaitu pendekatan ‘soliteris’ dalam menggolongkan identitas tiap manusia ke dalam satu identitas tunggal. Sen berargumen, “sumber dominan datangnya potensi konflik di dunia kontemporer ini terdapat pada pengandaian bahwa tiap manusia dapat secara unik dikategorikan hanya berdasarkan aspek agama atau budayanya saja.”



Pengandaian tentang identitas tunggal ini dapat ditemukan dalam karya Samuel Huntington berjudul Clash of Civilization. Ketunggalan identitas ini terlihat dalam bagaimana cara Huntington mengelompokkan peradaban dunia. Huntington membuat kontras tajam antara “peradaban Islam”, “peradaban Hindu”, “peradaban Buddha”, dan lain sebagainya. Bagi Sen, pengelompokan ini terlalu secara serampangan.



Pengelompokan itu tak memperhatikan aspek lain yang juga tak kalah penting misalnya pengelompokan berdasarkan kebangsaan, tempat tinggal, kelas sosial, pekerjaan, kesamaan bahasa, sikap politik, dan lain-lain. Contoh sederhana kecacatan tesis Huntington adalah seperti bagaimana ia menggolongkan India sebagai peradaban Hindu. Semudah inikah India didefinisikan peradabannya? Huntington seakan menyingkirkan fakta lain bahwa India adalah tempat bagi populasi terbesar muslim kedua di dunia.



Pandangan ketunggalan identitas ini berbahaya. Ketunggalan identitas menciptakan peta ‘oposisi biner’ yang membuat pembedaan muslim vs modern, timur vs barat, atau persib vs persija menjadi sama tegasnya dengan pembedaan laki-laki vs perempuan, dan hitam vs putih. Seakan tak mungkin ada kesamaan antara tiap kelompok ini, mereka ditakdirkan selalu beroposisi mutlak. Hitam berarti tidak putih, menjadi muslim berarti tidak modern, pendukung persib tak bisa menggunakan jaket persija, atau orang di belahan timur dunia selalu niscaya berpikiran konservatif.



Mengambil posisi yang berbeda dari pandangan identitas tunggal, Sen mengajukan postulat lain. Sebagai lawan tunggal, Sen mengajukan cara pandang bahwa identitas manusia sesungguhnya majemuk. Seseorang di saat yang sama dapat diidentifikasi sebagai perantau di Jogja, pelajar di Fakultas Ekonomi jurusan manajemen UII, muslim, pembaca buku yang taat, pelanggan setia warung burjo, jurnalis, pendukung keberagaman, penggemar warna biru, anggota Vianisti (komunitas fans Via Vallen), dan menjadi warga negara Indonesia tanpa satupun dari kelompok identitas ini berkontradiksi dan meniadakan identitas lainnya.



Dengan memahami kemajemukan identitas ini, manusia tak dapat mengklaim sikap orang lain secara mutlak berdasarkan satu identitas semata. Kedua pendukung klub sepakbola beda daerah tak perlu saling pukul dengan pertimbangan bahwa agama keduanya mengajarkan untuk selalu mengasihi sesama manusia. Kemudian, menjadi seorang muslim bukan berarti akan sepihak sepemikiran dengan ISIS. Dengan memahami kemajemukan identitas, manusia dapat melihat bahwa keberagaman tak selalu berarti ketiadaan kesamaan, dan perbedaan tak mewajibkan permusuhan.



Namun begitu, konsep ini masih menyisakan pertanyaan. Gagasan Sen sesungguhnya bukanlah gagasan sulit dipahahami. Lantas mengapa kita begitu sulit menyadari ini? Apakah memang terdapat kecenderungan bagi manusia umumnya untuk melihat dalam kacamata ‘oposisi biner’? Lalu bukankah dalam konsep identitas majemuk sekalipun, Sen tetap mengharuskan adanya kesamaan ‘irisan’ identitas sebagai syarat bagi perdamaian? Hingga akhir, pertanyaan tetap tak terjelaskan.



Secara keseluruhan, keunggulan argumen Sen terletak pada orisinalitas gagasannya bahwa “dalam kehidupan keseharian kita, kita melihat diri kita menjadi anggota bagian dari berbagai kelompok identitas.” Gagasan tersebut mungkin terdengar naif. Namun upaya memerangi kekerasan mungkin memang membutuhkan kenaifan macam ini.

Oleh: Ridho Haga Pratama

(Pemuda dengan cara pandang bahwa seseorang dapat menjadi tampan, ganteng, dan menawan tanpa satupun dari kelompok identitas ini berkontradiksi dan meniadakan identitas lainnya).

--

--