Kisah Ketar Ketir Kagum Revolusi Digital

Ridho Haga Pratama
4 min readSep 7, 2017

Kata ‘revolusi’ seringkali memberi kesan tentang kisah pemberontakan radikal, kudeta sistem yang menindas, dan perjuangan berdarah menggulingkan rezim. Itu kesan yang terlalu suram untuk kata ‘revolusi’ di buku Walter Isaacson. Istilah revolusi digital bagi Isaacson tetap kisah tentang pemberdayaan dan pembebasan, namun dalam nuansa penuh optimisme. Wikipedia memberi kita akses berpikir global, dengan media sosial interaksi dapat dilakukan tanpa dibatasi jarak geografis, kemudian blog memberi ruang bagi setiap orang menyuarakan pendapatnya. Nikmat mana lagi yang luput kita syukuri?

Memang dasarnya Walter Isaacson adalah seorang yang piawai menulis biografi. Buku sejarah inipun ia tulis dalam format layaknya biografi orang banyak. Uniknya adalah biografi-biografi yang ia susun berdasarkan urutan linimasanya ini memuat tokoh-tokoh yang seringkali tak begitu familiar sebagai tokoh revolusi digital. Mudah untuk mengenal Steve Job, Bill Gates, dan Alan Turing, namun bagaimana dengan Vincent Atanasoff, atau Konrad Zuse? Di buku ini, Isaacson mensejajarkan dan membandingkan kontribusi mereka berdua dengan Alan Turing dalam sejarah komputer. Tokoh-tokoh tak familiar ini sesungguhnya punya kontribusi besar dalam sejarah digital. Sayang mereka selalu tenggelam dalam catatan kaki. Namun di buku ini, mereka tak luput dari ulasan Isaacson.

Beberapa di antara nama tak familiar itu adalah Ada Lovelace dan Charles Babbage. Bab awal buku ini dimulai dengan kekaguman Ada Lovelace pada mesin analitis karya Charles Babbage. Mesin pada mulanya dibuat dengan tujuan mempermudah kehidupan manusia, fungsi mesin Babbage ini adalah mempermudah aktifitas menghitung. Lovelace adalah wanita yang mampu melihat seni dalam sains. Kepandaiannya berhitung dan berpuisi membuatnya mampu menghargai karya Babbage. Intuisi Lovelace menghasilkan nubuat: di masa depan mesin tak hanya akan mengolah angka yang saintifik yang membantu manusia berhitung, tapi juga mengolah gambar dan musik yang berseni. Poinnya adalah membuat mesin universal yang serbaguna.

Komputer di masa awal ditemukan tak bisa dibayangkan akan digunakan oleh setiap orang untuk bekerja, bermain, dan berkomunikasi seperti saat ini. Sulit diakui, tapi perang yang suram berkontribusi besar mendorong lahirnya komputer. Komputer pertama kali dibuat untuk kepentingan perang dan militer. Vannevar Bush di MIT membuat komputer analog yang ia namai Differential Analyzer untuk menganalisis tembakan senjata artileri, sementara Alan Turing di Bletchley Park mengabdikan diri membuat mesin untuk memecahkan kode rahasia Jerman.

Namun begitu, Isaacson menolak untuk mengakui bahwa militer adalah arsitek satu-satunya yang membangun fondasi bagi teknologi komputer dan era digital saat ini. Isaacson bersikeras bahwa inovasi yang membawa manusia ke era digital dari masa lalu hingga hari ini adalah hasil dari kolaborasi pemerintah, akademisi, dan para peretas (juga pebisnis di kemudian hari). Sebagaimana akan ia tunjukkan bahwa di antara banyak tokoh yang menciptakan komputer hampir pada waktu bersamaan, tak ada satupun yang dapat mengklaim diri sebagai penemu pertama komputer karena orisinalitas ide. Tak ada arsitek tunggal, pembangunan era digital adalah buah semangat kolaborasi. Semangat ini, sebagaimana ia sebutkan di pengantar, akan terus diceritakan berulang sepanjang buku ini.

Saat membaca kisah kolaborasi Isaacson ini, pembaca akan menyadari suatu pola. Tokoh-tokoh yang berkontribusi besar dalam pembangunan era digital tak pernah sosok tunggal. Mereka bekerja berpasangan sebagai tim dalam komposisi yang juga berpola. Pola pasangan ini seperti oposisi biner, atau dua kutub yang saling berlawanan secara ekstrem. Umumnya salah seorang sangat visioner sementara yang lainnya sangat teknokrat. Keberhasilan dalam inovasi umumnya terjadi dalam komposisi aneh ini. Isaacson menggambarkan pasangan penemu Apple, Steve Jobs sebagai sosok yang manipulatif dan pemaksa, sementara pasangannya Steve Wozniak seperti panda yang naif dan kikuk; kemudian untuk pasangan penemu Google, Larry Page sebagai seorang pendiam, dan Sergey Brin adalah orang yang terus menerus mencecarnya dengan banyak pertanyaan.

Di samping bentuk kolaborasi di atas, ada satu model kolaborasi lagi yang disorot Isaacson, model kolaborasi yang sesuai dengan filosofi internet yang berupaya menghubungkan tiap orang. Model kolaborasi ini bisa dilihat dalam cara kerja World Wide Web buatan Tim Berners-Lee, perangkat lunak wiki buatan Ward Cunningham, dan LINUX buatan Linus Torvalds. Berada pada spektrum yang berbeda dengan Microsoft dan Apple yang bersaing mematenkan hak cipta untuk melindungi keuntungan pribadi, orang-orang ini membuat perangkat yang bebas dibagikan kepada siapa saja secara cuma-cuma.

Mesin yang dibayangkan Ada Lovelace adalah mesin yang membantu individu manusia mengerjakan tugas dan mengakomodasi kreatifitasnya, mesin yang memperkuat manusia sebagai individu. Internet sebaliknya dibuat untuk mempermudah kolaborasi dan pertukaran informasi. Perkawinan dua teknologi inilah yang melahirkan iklim kolaborasi kreatif. Revolusi digital melahirkan moral agar setiap orang dapat berpartisipasi, memotong hierarki dan kendali terpusat. Berdasarkan makna ini, persaingan Gates dan Jobs di pengadilan tampak seperti keserakahan tukang monopoli yang bermasalah dengan moral era internet. Namun begitu, iklim inovasi mensyaratkan keberagaman macam ini. Karena kolaborasi hanya mungkin terjadi dalam keberagaman sebagaimana itu pula dengan konflik. Tanpa itu semua tak akan ada kagum dan ketar-ketir dalam kisah revolusi digital.

Ridho Haga Pratama (Pemuda yang tengah ketar-ketir menggarap skripsi)

--

--