Menemukan Kualitas Seorang Pemenang

Ridho Haga Pratama
4 min readFeb 1, 2018

Sejauh mana kesuksesan mampu menjadi indikator nilai seorang manusia? Mereka yang mencoba mencari jawaban pertanyaan tersebut akan menemukan gugatan oleh Ernest Hemingway dalam “The Old Man and The Sea”. Sejak awal pembuka novel, Hemingway telah menggambarkan bahwa karakter utamanya adalah seorang nelayan tua yang tak memperoleh satupun ikan dalam 84 hari ia melaut. Ia dijuluki sebagai salao, seorang pelaut yang sial, berdasarkan jumlah hasil tangkapannya (yang tentunya nol selama 84 hari). Hemingway memulai novelnya dengan karakter utama yang telah memenuhi syarat sebagai seorang pecundang tulen. Atau setidaknya memang begitulah adanya mengikuti anggapan tokoh-tokoh sampingan novelnya, para nelayan lain dalam gunjingan mereka.

Hemingway seakan berusaha berujar bahwa sukses, sebagaimana yang dikenal masyarakat, melulu berbicara soal status sosial tertentu dengan mengesampingkan perjalanan yang ditempuh untuk mencapainya. Inilah yang absen dari pertanyaan di atas. Ia berusaha mengajukan renungan retrospektif tentang hal lain ‘sebelum kesuksesan’ mencuat jadi pertanyaan. “The Old Man and The Sea” mengajukan sebuah gagasan tentang mendefinisikan kembali makna kesuksesan dan kemenangan.

Karakter utama kita bernama Santiago, seorang nelayan tua salao. Kita sejak awal disuguhi fakta bahwa ia, dalam 84 hari melaut, tak berhasil menangkap satu ekorpun ikan, dan memperoleh julukan salao karenanya. Jika sukses adalah akhir yang bahagia bagi Santiago, maka apakah wujudnya yang mungkin? Novel tipis Hemingway adalah cerita yang sederhana. Tak ada twist yang terlalu menarik yang akan kita temukan. Di akhir cerita, Santiago berhasil menangkap seekor ikan besar seukuran dua kali perahu yang ia bawa, namun dilahap habis oleh hiu dalam perjalanannya pulang.

Bagi saya, di sinilah cobaan sebagai pembaca bermula. Ada sebuah kepercayaan diri aneh yang muncul saat saya memilih memaparkan akhir cerita novel ini. Apakah saya telah memaparkan bagian yang penting yang akan mengurangi minat calon pembaca buku ini? Sebaiknya tidak. Hemingway menyajikan permukaan kisahnya dalam kesederhanaan, namun menemukan pesannya membutuhkan energi lebih untuk menyelam lebih dalam. Toh gagasan yang perlu ditangkap adalah tentang ‘sebelum kesuksesan’ bukan?

Diceritakan dalam upaya Santiago menangkap ikan raksasa itu selama tiga hari lamanya, ia harus berhadapan dengan jari-jarinya terluka oleh tegangan kail akibat tarik-menarik dengan sang ikan, punggungnya melepuh oleh sengatan matahari, tangan kirinya kram, dan bekal makanannya yang hanya cukup untuk sehari perjalanan. Kemudian yang terparah dari itu semua, ia hanya bisa mengandalkan dirinya sendiri. Entah untuk mengobati lukanya, mengenyangkan diri, atau sekedar menjaga semangatnya yang terus menerus dideru derita agar tak loyo.

Santiago jelas berada dalam kondisi yang pantas untuk menyerah mengingat umurnya yang sudah tua. Tapi ia tak melakukannya. Sesekali dalam letih yang menderanya ia mengenang DiMaggio, pemain baseball favoritnya:

Aku harus menyamai kualitas si hebat DiMaggio yang mengerjakan sesuatu secara sempurna, bahkan ketika menderita sakit di tulang taji di tumitnya. (hal. 67)

Apa kau akan percaya si hebat DiMaggio akan tinggal bertahan bersama seekor ikan sama lamanya dengan yang terjadi padaku saat ini, tanyanya. Aku yakin ia akan melakukannya... (Hal. 68)

Ada sebuah kerendahan hati dan kepolosan dalam kata-katanya. Saat membandingkan ujian yang dihadapinya dengan orang lain, kerendahan hati selalu membuat Santiago menempatkan ujiannya seakan berada pada level yang lebih rendah dari DiMaggio. Ini membuat Santiago tak punya alasan untuk mengeluh, sementara DiMaggio diyakininya akan dapat menyelesaikan ujian ini dengan sempurna. Padahal DiMaggio sama sekali bukan nelayan, dia pemain baseball. Namun justru dalam kerendahan hati yang tidak lazim ini, Santiago menemukan inspirasinya, menjaganya dari godaan untuk menyerah.

Lapar tak mengenal tekad. Ia hadir pada siapapun yang kehabisan energi dan membutuhkan metabolisme. Perbekalan Santiago tak mencukupi untuk makan selama tiga hari, waktu tak direncanakan untuk memancing. Ia harus memakan lumba-lumba dan ikan lainnya dari laut yang diperolehnya dalam keadaan mentah. Kita bisa menemukan sesal dalam kalimatnya:

“...Aku tak akan lagi pergi dengan perahu tanpa membawa garam atau limau.” (hlm. 81)

Santiago menyadari kelemahannya dalam perencanaan yang membuatnya harus makan ikan mentah tanpa bumbu. Itu membuatnya menyesal. Namun kalimat “Aku tak akan lagi..tanpa...” menyimpan bersamanya harapan bahwa Santiago masih akan pergi ke laut lagi. Dan bahwa ketika ia pergi melaut lagi, keadaannya akan berbeda. Ia akan lebih siap, ia telah belajar.

Nelayan tua ini telah melewati banyak untuk menangkap ikan sepanjang 18 kaki itu. Namun toh, perahu Santiago hanya setengah ukuran ikan itu. Ikan harus ditarik mengambang di lautan, tak bisa dibawa ke atas perahu. Darah bangkai ikan itu mengapung dan mengundang hiu-hiu. Susah payah Santiago menghadapi hiu. Ia berhasil membunuh dua lalu kehilangan senjatanya. Nelayan tua masih punya semangat, hanya senjata ia sudah tak punya. Apa daya? Ikannya habis dimakan hiu. Sekali lagi ia menyesal, namun tak menghentikan niatnya berlayar kembali. Baginya, “seorang manusia dapat dihancurkan tapi tidak untuk ditundukkan.” (Hal. 107)

Usai membaca “The Old Man and The Sea”, saya teringat dengan sebuah ungkapan tua: hasil tak akan mengkhianati proses. Sekilas ini ungkapan yang terkesan menghina tokoh utama kita. Namun di sinilah gugatan sebenarnya: dengan apakah kita mendefinisikan hasil? Benarkah, nelayan tua pulang tanpa membawa suatu apapun? Ia telah berlayar tiga hari dengan perbekalan untuk sehari, menangkap ikan dua kali ukuran perahunya dengan luka-luka di sekujur tubuhnya, serta membunuh dua hiu. Kita tahu tidak semua nelayan memiliki pengalaman serupa. Apakah semua upayanya itu hanya kesia-siaan belaka?

Seorang bocah menangis melihat luka-luka di tangan Santiago yang tertidur sepulang melaut. Sementara seorang nelayan terhenyak mengukur panjang tulang ikan yang masih tertambat di perahu Santiago. Santiago tak pulang membawa daging, tak pula memperoleh uang dari kerja kerasnya. Namun luka di jarinya, tulang yang dibawanya, tombak yang hilang, dan punggung yang melepuh, semuanya berbicara dengan lantang. Dalam kerendahan hatinya, semua tahu, Santiago adalah pemenang. Ia hanya tak memperoleh hadiah atas kemenangannya.

Ridho Haga Pratama,

“Bagiku, saat ini ikan itu adalah skripsi.” (Pratama, 2018)

--

--