Mereka yang Membeli Ini Juga Membeli Itu: Pemasaran di Era Big Data

Ridho Haga Pratama
4 min readNov 15, 2017

Seorang perempuan berusia 23 tahun di Atlanta, Jenny Ward, membeli losion mentega coklat, tas tangan, suplemen seng dan magnesium, dan permadani biru terang. Di tempat lain di Brooklyn, Liz Alter, berusia tiga puluh lima tahun membeli lima kantong lap, sebotol deterjen cuci untuk kulit yang yang sensitif, jins gombrang, suplemen yang mengandung DHA, dan banyak pelembap. Apa yang dapat anda ketahui dari data ini?

Di Target (nama sebuah toko serba ada), data-data tersebut menunjukkan bahwa Jenny Ward berkemungkinan 87 persen hamil dan akan melahirkan pada bulan Agustus. Sementara Liz Alter berkemungkinan 96 persen hamil dan akan melahirkan pada awal Mei. Berbekal ribuan data pelanggan seperti ini, Target memperoleh konsumen potensial bagi iklan popok, kasur bayi, tisu basah, dan pakaian hamil beserta daftar diskonnya.

Kejadian yang hampir serupa juga terjadi pada Yudha, mahasiswa FE UII yang hobi lari pagi, sewaktu berbelanja secara daring. Saat mengunjungi toko ritel daring untuk mencari celana olahraga, ia menemukan berbagai kombinasi gaya pilihan yang diracik berdasarkan pembelian-pembelian sebelumnya dari para pelanggan dengan profil yang serupa dengan Yudha.

Akhirnya Yudha memutuskan mengklik satu gambar, kemudian memindahkannya ke keranjang virtual. “Emang ini yang kayak gini yang lagi ngetren,” ujarnya lantas membayar satu picis celana olahraga belanjaannya itu via transfer langsung dari ponselnya.

Interaksi pelanggan dan penjual umumnya berhenti sampai di sini. Namun sama seperti toko ritel Target di atas, tiga hari usai belanja daring tersebut, sebuah notifikasi ke kotak masuk surat elektronik Yudha berisi tentang tips hidup sehat lengkap dengan tautan ke saluran video Youtube. Satu minggu kemudian, notifikasi lainnya muncul memberitahu event diskon alat-alat aktifitas luar ruangan. Yudha kemudian kembali mengunjungi toko daring yang sama untuk membeli tas olahraga yang dapat ia isi dengan minuman isotonik.

Memahami big data

Setiap kali seseorang berbelanja di toko daring, berlangganan majalah, membuat akun media sosial, hingga menggunakan jasa Go-Jek misalnya, ia akan memberikan informasi diri seminimalnya berupa nama. Tergantung pada layanan apa yang ia gunakan, seseorang dapat memberi informasi tambahan seperti lokasi saat ini dan tujuan untuk jasa transportasi maupun pengiriman barang, dan tempat tanggal lahir untuk jasa ramalan horoskop dan media sosial.

Tidak hanya itu, apapun yang diposting di media sosial, lokasi tiap GPS dinyalakan, foto-foto yang diunggah adalah informasi yang selalu terrekam. Bahkan situs media pemberitaan daring bisa tidak hanya melihat jumlah pembaca pada satu artikel, tapi juga merekam informasi lama baca, pada paragraf mana pembaca menghabiskan waktu paling lama, hingga pada paragraf berapa pembaca mengakhiri bacaannya. Informasi yang bervariasi inilah yang disebut sebagai big data.

Andrew McAfee, memperkirakan volume big data akan meningkat dua kali lipatnya per 40 bulan. Infografik CSC berikut, sebagaimana dinukil dari impactradius.com, menunjukkan, volume big data pada tahun 2016 mencapai 16,59 zettabita, dan memproyeksikan pada tahun 2025 tumbuh menjadi sebesar 73,5 zettabita.

Gambar dinukil dari impactradius.com

Tantangan bagi pemasar

Di era digital di mana seluruh aktifitas berselancar di internet terrekam,tiap orang seakan menjadi ‘responden’ potensial bagi riset pemasaran. Analisis Boudet et al. (2017) di Digital McKinsey berjudul The Heartbeat of Modern Marketing, pemasaran berbasis data yang memuat kebutuhan, kepentingan, dan perilaku tiap orang secara real-time ini dapat meningkatkan penjualan total sebesar 15 hingga 20 persen.

Namun begitu, pemanfaatan big data ini menyimpan tantangan tersendiri. Ulasan Shah, Horne, dan Capella (2012) di Harvard Business Review (HBR) berjudul Good Data Won’t Guarantee Good Decisions telah menyorot hal ini. Ulasan ini menyebutkan, “investasi pada big data bisa jadi tak berguna, bahkan merusak, kecuali bila karyawan dapat memasukkan data-data yang ia peroleh ke dalam pengambilan keputusan yang kompleks.”

Kembali pada kasus di awal, dengan big data, pemasar mungkin tahu bahwa Yudha adalah seorang lelaki 20 tahun, mahasiswa, perantau di Jogja, dan hobi berolahraga. Namun bagaimana seorang pemasar harus mensegmentasikannya? Sebagai mahasiswa, atlet, atau perantau? Apakah ia adalah bagian dari segmen mikro yang memiliki kombinasi atribut ketiga segmen tersebut? Data kompleks seperti inilah yang harus ditangani pemasar dalam desain strateginya.

Bagaimana segmen pasar ditetapkan akan menentukan bagaimana produk dibuat dan dipasarkan. Di era big data ini, sebagaimana diungkapkan Boudet et al. (2017), cara segmentasi dasar, dan model kampanye umum telah menjadi barang antik. Cara-cara ini tak lagi cukup adaptif dan gesit dalam era di mana data tumbuh secara real-time dengan kecepatan tinggi.

Menurut dia, pemasar harus mulai membangun sebuah platform data pelanggan atau Customer Data Plaform (CDP)—sebuah platform untuk menemukan data dan membuat keputusan berdasarkan temuannya secara otomatis. Dengan begitu, CDP dapat memungkinkan pemasar untuk terus berinteraksi dengan pelanggan berbasis data secara real-time.



Oleh: Ridho Haga Pratama (tampan secara istiqomah di era big data)

--

--