Organisasi, Tatanan Dalam Imajinasi

Ridho Haga Pratama
9 min readSep 3, 2017

“Sometimes truth isn’t good enough. Sometimes people deserve more. Sometimes people deserve to have their faith rewarded.” —Christopher Nolan & David S. Goyer

Tiap kali langit malam cerah tanpa awan, akan selalu kita temukan hamparan bintang-bintang yang berserakan bersinar terang. Dalam keterserakannya, masing-masing bintang ini bersinar kokoh, terang, dan kuat. Namun bukan di sana letak keindahannya. Kita tak akan menemukan keindahan dalam terang acak yang berdiri kokoh secara individual. Keindahan justru akan kita temukan pada apa yang menghubungkan dan mempertemukan bintang-bintang individual itu: gelap malam dan imajinasi tentang rasi bintang.

Bintang-bintang tak pernah meniatkan dirinya untuk berbaris membentuk wajah singa, atau manusia setengah kuda dengan busur dan panah, apalagi menjadi penunjuk arah. Kisah fiktif ini murni produk imajinasi manusia. Imajinasi mengubah apa yang mula-mula acak menjadi barisan yang tertata. Imajinasi tentang rasi bintang mula-mula membuat Leo dan Sagitarius memperoleh tempat di langit malam. Kemudian pada gilirannya tatanan rasi bintang ini memberi tahu ke mana nelayan harus berlayar jika ingin pulang, atau kapan petani harus mulai menanam padi.

Imajinasi tidak hanya membuat manusia mampu menata bintang-bintang. Imajinasi membuat manusia mampu mewujudkan apa yang dibayangkannya secara kolektif. Kemampuan meyakini dan memperjuangkan sesuatu yang tidak tampak ini memberi manusia kekuatan untuk bekerja sama secara kolektif. Dengan imajinasi, gagasan abstrak, nilai moral, dan segala hal yang tak tampak ini, manusia dapat bekerja sama dalam sebuah tatanan bernama organisasi. Tanpa imajinasi atau gagasan abstrak tentang kebangsaan, tak akan ada organisasi negara. Tanpa gagasan abstrak tentang visi organisasi (dan laba), maka tak akan ada korporasi raksasa seperti Apple dan Google.

Organisasi yang Melampaui Kebutuhan Dasar

Organisasi secara umum didefinisikan sebagai kelompok kerja sama antara orang-orang untuk mencapai tujuan yang sama. Namun apa yang istimewa dari organisasi? Tidakkah semut juga mengorganisasi diri dalam kelompok untuk mencari makan dan berkembang biak, begitupun lebah-lebah saat membuat sarang, serigala saat berburu, juga simpanse saat mempertahankan diri dari kawanan musuh? Namun manusialah yang kini duduk di rantai makanan teratas, mendirikan imperium untuk menguasai dunia, dan mendirikan korporasi dengan kekayaan setengah umat. Apakah yang istimewa dari organisasi manusia? Menjawab ini, mula-mula kita perlu memperhatikan pola.

Jika organisasi dibentuk, sebagaimana ia didefinisikan, adalah berdasarkan kesamaan tujuan, maka di mana letak kesamaan tujuan berkembang biak, membuat sarang, berburu mencari makan, dan mempertahankan diri dari serangan musuh? Tidakkah kebutuhan ini yang membuat semut, serigala, lebah, hingga simpanse harus mengorganisasi diri? Setidaknya ada sebuah pola yang dapat kita temukan dalam daftar ini. Setiap kebutuhan yang mendasari pembentukan organisasi hewan-hewan ini adalah kelompok kebutuhan terdasar dalam teori hierarki kebutuhan Abraham Maslow, yakni kebutuhan untuk bertahan hidup dan rasa aman dalam kelompok. Pada tingkat ini, seluruh makhluk hidup termasuk manusia memiliki kebutuhan yang sama, kebutuhan bertahan hidup. Perbedaannya baru akan mengemuka pada tingkat kebutuhan lainnya.

Gambar: Hierarki Maslow

Dalam teori hierarki kebutuhan Maslow, di atas kebutuhan untuk bertahan hidup masih ada kebutuhan atas keselamatan dan rasa aman, kebutuhan untuk memiliki, kebutuhan atas harga diri, dan yang teratas adalah kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan teratas dalam hierarki Maslow, tak seperti kebutuhan-kebutuhan pada tingkat terbawah yang bersifat material, adalah kebutuhan yang bersifat abstrak. Kemampuan untuk menciptakan dan meyakini konsep abstrak inilah yang membedakan manusia dengan hewan. Berbeda dengan hewan, manusia mampu mengorganisasi diri dan membentuk tatanan melampaui kesamaan kebutuhan dasar.

Organisasi-organisasi primitif yang dimulai atas kesamaan kebutuhan dasar untuk bertahan hidup memiliki ambang kritis. Yuval Noah Harari mengemukakan, struktur organisasi atau kelompok yang dibentuk berdasarkan kebutuhan untuk bertahan hidup umumnya terikat oleh hubungan emosional. Namun organisasi yang diikat oleh hubungan emosional semata memiliki keterbatasan. Riset dalam bidang sosiologi sepakat bahwa ukuran maksimum suatu organisasi yang diikat oleh keintiman emosional adalah rata-rata 150 individu. Ketika mencapai jumlah ini, organisasi primitif harus membentuk kelompok baru.

Dalam organisasi modern sekalipun, organisasi tetap terikat dengan angka ajaib ini. Sebuah bisnis keluarga dengan jumlah anggota di bawah jumlah rata-rata ambang kritis (150 individu) dapat bertahan dan berkembang baik tanpa jabatan formal CEO, dewan direksi dan divisi akunting. Krisis baru akan dihadapi ketika bisnis kian tumbuh dan harus mempekerjakan karyawan melampaui jumlah ambang kritis ini. Bahkan riset Steve Blank menunjukkan, pimpinan bisnis start-up umumnya mulai belajar memecat karyawan pada saat bisnis mulai berisi 40 karyawan. Pada masa ini, hubungan emosional yang mengikat organisasi mulai diguncang.

Tidak seperti simpanse, organisasi manusia kita ketahui melampaui angka di atas. Kota dengan ribuan penduduk dan korporasi yang mempekerjakan ribuan karyawan lintas negara membuktikan hal tersebut. Sulit membayangkan bagaimana organisasi yang berdiri lintas negara dengan jarak geografis yang saling jauh satu sama lain, ribuan karyawannya saling dekat secara emosional satu sama lain. Tapi toh minimnya kedekatan emosional tak menghalangi orang-orang yang saling asing satu sama lain ini untuk bekerja sama. Pertanyaan baru kemudian mengemuka: apakah yang mempersatukan mereka? Apa yang memungkinkan orang-orang yang saling asing satu sama lain ini dapat bekerja sama? Jawaban Harari adalah sama seperti yang dibahas sebelumnya, yakni pada kemampuan manusia untuk meyakini dan memperjuangkan hal tak tampak secara bersama-sama.

Imajinasi kolektif membuat individu-individu yang saling asing dapat menata diri dalam satu organisasi. Dua pengacara yang tak saling kenal bisa membela orang yang benar-benar asing karena meyakini imajinasi tentang keadilan, hukum, dan hak asasi manusia yang sama. Sebagaimana pertukaran antara pembeli dan penjual dapat terjadi dengan sah sejauh keduanya meyakini imajinasi tentang dua benda yang bernilai setara. Organisasi yang mengurusi hubungan-hubungan legal dan ekonomi ini ditata oleh imajinasi. Uniknya, imajinasi-imajinasi ini diyakini oleh setiap orang lintas pulau bahkan negara dengan ratusan ribu manusia meyakininya. Imajinasi-imajinasi ini menata tingkah laku, menjadi pedoman warga negara yang baik layaknya rasi bintang menunjukkan arah bagi nelayan.

Perbedaan ini jelas sangat mencolok dengan organisasi-organisasi yang berorientasi pemenuhan kebutuhan dasar semata. Manusia bisa mati karena kelaparan, diterkam harimau, atau terkena penyakit di musim dingin. Semua hal tersebut adalah syarat mendasar kehidupan. Berbeda dengan keadilan, HAM, hukum, dan utilitas. Meyakini semua hal abstrak tersebut tak membuat perut menjadi kenyang, tak pula meningkatkan kekebalan tubuh dari penyakit. Tapi justru keyakinan akan hal-hal ‘tak berguna’ ini mempersatukan manusia jauh lebih efektif ketimbang rasa lapar semata. Gagasan HAM diyakini oleh hampir seluruh manusia di dunia. Semua berpayung dan taat akan benda abstrak ini. Dan kita tahu benda abstrak tak memiliki wujud fisik. Ia sesuatu yang hanya dapat ada jika diimajinasikan. HAM, layaknya rasi bintang, adalah tatanan yang diimajinasikan.

Entitas Ciptaan Keyakinan

Tak perlu meyakini gravitasi untuk menerima fakta bahwa apel akan jatuh ke bawah. Sebab dengan atau tanpa meyakini gravitasi, atau bahkan tanpa Isaac Newton menemukan gravitasi sekalipun, apel tetap akan jatuh ke bawah. Fakta bahwa apel jatuh ke bawah adalah realitas yang sama sekali tak terikat oleh keyakinan. Sangat berbeda dengan tatanan dalam imajinasi. Tanpa kepercayaan atasnya, alih-alih menciptakan persatuan dalam organisasi, ia hanya akan jadi omong kosong tak ubahnya dongeng tidur. Organisasi yang dibangun dengan tatanan dalam imajinasi adalah realitas yang terikat pada keyakinan.

Yuval N. Harari punya sedikit eksperimen pikiran. Ia mulai dengan sebuah pertanyaan, dengan cara bagaimana kita mengatakan bahwa Peugeot SA (nama perusahaan otomotif) eksis? Setiap kendaraan yang diproduksi Peugeot SA bisa saja dihancurkan di saat bersamaan, namun itu tak menghilangkan eksistensi Peugeot SA sebagai perusahaan. Kendaraan dapat diproduksi kembali dan laporan keuangan tetap dapat dibuat. Sebuah bencana bisa membunuh setiap pegawainya dan menghancurkan pabrik-pabriknya, tapi Peugeot SA sebagai perusahaan tetap eksis. Peugeot SA dapat meminjam uang, membangun kembali pabriknya, dan merekrut lagi pegawai-pegawai baru. Pemiliknya bisa saja meninggal dan sahamnya dijual, tapi Peugeot SA dapat tetap eksis beroperasi. Seketika sahamnya dibeli oleh pemilik baru, satu satunya yang berubah hanya nama pemilik.

Peugeot SA perusahaan didefinisikan bukan oleh produk, pegawai, pabrik bahkan pemiliknya. Semua itu bisa hilang, namun Peugeot SA tetap berdiri. Ia seakan kebal dari kematian. Namun coba jika seorang hakim memutuskan untuk menyatakan bahwa Peugeot SA pailit, harus dilikuidasi, dan dibubarkan. Maka saat itu juga meski gedungnya masih berdiri, pemiliknya masih hidup, pegawai-pegawainya masih bekerja, dan pabrik-pabriknya masih berproduksi, Peugeot SA akan lenyap seketika. Apa yang sesungguhnya ingin disampaikan dari kisah ini? Sederhana. Peugeot SA sebagai perusahaan tak memiliki hubungan apapun dengan realitas fisik. Ia tak lebih dari fiktif imajinasi kolektif.

Peugeot SA tak bisa ditunjuk seperti menunjuk barang fisik. Sebab ia bukan barang fisik. Ia adalah entitas hukum, makhluk yang diciptakan oleh hukum. Peugeot SA dapat membuka rekening, membayar pajak, dan memiliki properti sebagai perusahaan, seakan individu makhluk hidup. Perusahaan dapat dituntut karena gagal memenuhi kewajiban hutangnya tanpa membuat pemilik serta pegawai-pegawainya harus bertanggungjawab atau dijebloskan ke penjara karenanya. Sebagai entitas hukum perseroan terbatas, ia adalah makhluk yang independen dari pemiliknya. Dengan kata lain, pengelola Peugeot SA dapat menginvestasikan dana perusahaan sebagaimanapun ia suka tanpa khawatir harus termiskinkan oleh resiko investasi tersebut.

Bagaimana makhluk ini dapat diciptakan? Sangat mudah. Armand Peugeot, pendirinya, cukup membayar pengacara bersertifikat, mengikuti ritual administrasi yang benar, menulis mantra dan sumpah di selembar kertas dengan tanda tangan dan sedikit hiasan pada kopnya, lalu voila, jadilah Peugeot SA. Prosedur suci ini seketika akan membuat seluruh penduduk berdiri tegak berperilaku seakan-akan perusahaan Peugeot SA benar-benar ada. Organisasi dengan kemampuan mempekerjakan 200 ribu orang di seluruh dunia, memproduksi jutaan mobil, dan menghasilkan pendapatan miliaran euro ini anehnya tidak hidup didasari oleh benda-benda fisik seperti pekerja, produk, atau pabriknya. Kekuatan besar korporasi multinasional ini hadir karena iman dan keyakinan setiap orang secara kolektif terhadap hukum Prancis, sebuah benda abstrak dalam imajinasi.

Kisah Harari ini menunjukkan dengan tegas bagaimana realitas yang dibangun oleh imajinasi mensyaratkan keyakinan kolektif, layaknya iman pada agama. Seseorang dapat menganggap berzina sebagai kejahatan sepanjang meyakini moral agama misalnya bahwa berzina adalah dosa. Tanpa iman pada tatanan itu, tak ada benar-salah dalam zina baginya. Tatanan dalam imajinasi harus ditopang oleh keyakinan agar dapat berdiri di atas realitas. Karena tak seperti hukum fisika, apa yang dibangun oleh imajinasi adalah realitas sosial. Realitas sosial, sebagaimana dijelaskan di atas, tidak independen dari keyakinan. Namun keberhasilan membangunnya akan memberi kekuatan besar pada manusia.

Memaknai Pemimpin

Mills dan Ungson (2003) punya penjelasan dukungan yang menarik tentang ini. Kapankah kepercayaan diperlukan, kapan ia tak dibutuhkan? Hingga derajat tertentu, kepercayaan muncul untuk mengkompensasi ketidaklengkapan informasi akibat kondisi ketidakpastian. Ketidaklengkapan informasi macam ini tentu berresiko. Dalam arti ini, kepercayaan bermakna kesiapan untuk menerima resiko. Dengan kata lain, ketidakpastian adalah syarat bagi hadirnya kepercayaan. Sebaliknya kepastian tak membutuhkan kepercayaan. Kepastian membuat benar-salah telah independen dari kepercayaan.

Imajinasi semata tak secara serta merta menciptakan organisasi. imajinasi perlu untuk dikolektifkan, dipercayai oleh sekelompok manusia agar memiliki topang di atas realitas. Tanpa kolektifitas, imajinasi semata hanya melahirkan seorang pemimpin tanpa pengikut, imam tanpa ma’mum, atau penjual tanpa pembeli. Tak ada pemerintahan dalam negara dengan satu presiden tanpa rakyat, tak ada jamaah dalam barisan imam tanpa ma’mum, dan tak ada perdagangan dalam pasar tanpa permintaan. Ini mirip kisah cinta yang bertepuk sebelah tangan, tak ada tepuk hanya dengan sebelah tangan. Imajinasi memerlukan pengakuan, perlu diyakini, perlu dilegitimasi.

Namun imajinasi menawarkan sesuatu yang tak tampak, tak pasti, dan karenanya juga menghadirkan resiko. Di sini, tantangan sebenarnya dalam membangun sebuah organisasi kemudian mengemuka: menawarkan gagasan abstrak yang layak untuk diimajinasikan, dipercayai, dan diperjuangkan bersama. Imajinasi apa yang cukup layak, dengan segala resiko yang akan dihadapinya, untuk diperjuangkan? Bagaimana cara mempengaruhi orang-orang agar mau meyakini suatu imajinasi secara kolektif?

Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah tantangan tersendiri. Pasalnya sejarah paling menarik sesungguhnya berkutat dengan pertanyaan di atas. Tentang bagaimana perjuangan nabi dan Rasul mendakwahi bani Israil dan suku Quraisy agar beriman kepada Allah SWT, Nelson Mandela menggerakkan massa untuk memenangkan pemilu dan memerangi politik apartheid, hingga Hitler yang meyakinkan seluruh Jerman bahwa ras Arya adalah ras paling unggul dan membenarkan genosida atas kaum Yahudi. Kesemuanya adalah tentang meyakinkan jutaan orang agar mau meyakini satu tatanan yang tak bisa ditunjuk secara fisik, hanya bisa diimajinasikan.

Hal paling sulit dalam kisah ini adalah menawarkan imajinasi yang layak diikuti, layak untuk kita investasikan kepercayaan kita dengan segala resikonya. Kepastian dijamin oleh fakta, tapi kepercayaan tak memiliki kemewahan itu. Karenanya, percaya pada imajinasi dan impian masa depan tak lain adalah irasionaliltas. Namun pemimpin adalah ia yang mampu mengajak mempengaruhi bahwa irasionalitas macam itu layak diperjuangkan bersama. Jikapun ada yang lebih berbahaya dari kelangkaan Bahan Bakar Minyak (BBM), mungkin adalah kelangkaan keyakinan irasionalitas macam ini dan orang-orang yang menawarkannya, orang-orang yang saat ini kita rindukan.

_____

Sulit membayangkan bagaimana jadinya manusia tanpa kemampuan menciptakan makna dan mengimajinasikan sebuah tatanan tak tampak. Negara, HAM, dan korporasi tak dapat berdiri jika satu-satunya hal yang mampu dibicarakan adalah hal yang benar-benar ada secara fisik seperti bintang dan gelap malam, atau manusia dan perutnya. Fakta sendiri tak cukup, manusia membutuhkan imajinasi untuk membentuk jalinan-jalinan, pola, kolektifitas, atau organisasi yang tertata. Sebagaimana seorang pebisnis harus berimajinasi bahwa kertas-kertas yang disimpan di bank benar-benar menyimpan nilai dari keringat kerja kerasnya. Atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang harus mengimajinasikan konsep abstrak tentang HAM untuk mengintervensi kekerasan dan perang internasional. Keduanya harus meyakini tatanan yang diimajinasikannya.

Kita bisa saja menghina imajinasi dan segala hal tak tampak itu sebagai isapan jempol, dongeng tidur, atau kebohongan. Tapi kita membutuhkan ‘kebohongan’ macam itu. Dengan imajinasi yang mampu menjalin melampaui apa yang tampak, kekuatan individu-individu manusia dapat terakumulasi dan terorganisir, kemudian memberikan manusia kekuatan yang besar. Dalam realitas sosial, satu-satunya yang membedakan kebohongan dan tatanan dalam imajinasi adalah pada hadirnya keyakinan kolektif yang menopangnya. Berbeda dengan kebohongan, tatanan dalam imajinasi dapat berdiri sebagai realitas sosial sepanjang kepercayaan bersama itu ada. Selama itu pula kepercayaan ini menghadirkan kekuatan di dunia. Kekuatan dalam simpul organisasi.

Oleh: Ridho Haga Pratama

Pegiat Jong Prawira dan Seorang Tampanis (Seorang pemuda yang sedang berupaya menawarkan imajinasi tentang ketampanan kolektif)

--

--