PDB dan Ilusi Tentang Kesejahteraan

Ridho Haga Pratama
6 min readAug 16, 2017

Pemerintah kerapkali dituding berbohong. Dalam sebuah pidato tahunannya, presiden selalu berbangga dengan keberhasilannya memajukan perekonomian negara dengan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) sekian persen, meningkatkan pendapatan per kapita sekian persen dan lain-lain. Namun sepertinya bertahun-tahun pidato tentang keberhasilan ini disampaikan, bahkan setelah berganti kabinet yang berbeda sekalipun, ia selalu senjang dengan apa yang kita lihat sehari-hari. Angka-angka indikator kemajuan ekonomi yang dibawakan pemerintah seakan-akan tak merepresentasikan kemajuan itu sendiri.

Berbagai analisis dan hipotesa pun bertebaran dengan banyak ragam. Ada yang mengatakan bahwa ini adalah manipulasi statistik oleh pemerintah. Sementara lainnya berpendapat, ini adalah bias yang diakibatkan oleh kemalasan pekerja lapangan Badan Pusat Statistik (BPS) yang beberapa sempat terlihat mengisi sendiri kuesioner miliknya. Dengan dua alasan tersebut, persoalan bias statistik ini akan segera berlanjut menjadi pembahasan tentang etika dan moral manusia.

Terlepas dari tuduhan tersebut benar atau salah, sementara untuk menghindari perdebatan tentang moral dan etika manusia yang cukup menjemukan, mari kita dengar pendapat lain yang lumayan menarik. Pendapat lain ini menyampaikan bahwa pemerintah boleh jadi tidak berbohong, tidak pula ia memanipulasi data. Jikapun ada penyebab mengapa peningkatan PDB sama sekali tak mengurangi jumlah pengemis di emper toko, itu adalah karena permasalahan pada formula PDB itu sendiri sebagai ukuran kemajuan. Artinya permasalahan tidak berasal karena human error dalam proses pengukuran seperti dua pendapat pertama, kesalahan terdapat pada apa yang diukur, yaitu kemajuan ekonomi nasional oleh PDB.

Steve Landefeld, seorang ekonom pemerintah Amerika Serikat (AS) sama sekali tak pernah menyamaartikan PDB sebagai kemajuan nasional. Baginya PDB adalah PDB, tak lebih. PDB hanyalah total keseluruhan output suatu negara yang isinya di antaranya hasil produksi pabrik, belanja konstruktif, panen petani, dan lain-lain yang diukur di AS dengan satuan ukuran tunggal Dolar. Permasalahan akan mulai muncul jika oleh pemerintah, PDB ini dipolitisasi dan dijadikan ukuran keberhasilan kebijakan penyejahteraan rakyat. Landefeld seakan berusaha mengatakan bahwa PDB dijadikan indikator kemajuan negara bukan atas kehendak ekonom dan ahli statistik, fenomena ini hanyalah dampak dari pergumulan politik.

Ukuran dan Kebijakan

Meski begitupun, keberadaan PDB ini pun adalah untuk dijadikan salah satu bahan pertimbangan pemerintah merumuskan kebijakan publik. Dan kritik terhadap penyalahgunaan para politisi terhadap PDB sama sekali tak mengubah fakta tersebut. Karenanya masalah yang ditimbulkan PDB tidak hanya soal representatif atau tidaknya ia sebagai ukuran kemajuan ekonomi nasional, tapi juga tiap keterbatasan PDB tersebut berpotensi memberi peta yang salah atau tidak lengkap bagi pemerintah dalam merumuskan kebijakan publik.

John Gertner dalam artikelnya menyajikan bagaimana perdebatan mengurai keterbatasan PDB dan peluangnya memberi peta yang keliru untuk perumusan kebijakan. Ia menggambarkan seandainya jika dunia diisi oleh dua jenis orang: orang dengan PDB tinggi dan orang dengan PDB rendah. Orang dengan PDB tinggi adalah orang yang memiliki jam kerja yang padat. Padatnya agenda menuntut orang dengan PDB tinggi untuk memiliki kendaraan berkecepatan tinggi yang boros bensin untuk menjaga mobilitasnya, yang mengisyaratkan bisnis bagus bagi pom bensin dan produsen mobil. Pekerjaannya menuntut makanan junk food yang siap diantar langsung ke manapun ia sedang berada, atau stresnya yang muncul akibat kurang mengambil waktu libur mengisyaratkan sinyal baik bagi bisnis restoran dan rumah sakit.

Sebaliknya orang dengan PDB rendah adalah ia yang harus menggunakan sepeda atau menunggu di halte angkutan umum agar bisa menuju tempat kerjanya dan pergi ke pasar lalu menyiapkan sendiri di dapur makanan untuk dirinya dan keluarganya. Sementara orang PDB tinggi menggunakan pembantu rumah tangga untuk mengurus rumah dan mesin cuci untuk mencuci dan mengeringkan pakaian, orang dengan PDB rendah membersihkan sendiri rumahnya, mencuci sendiri pakaian dengan tangan, lalu mengeringkannya dengan panas matahari.

Berdasarkan pengandaian Gertner ini, kontribusi terbesar terhadap PDB datang dari budaya konsumsi yang tinggi terlepas dari apakah ia menyehatkan atau tidak, membawa polusi bagi lingkungan atau tidak, dan kosenkuensi-konsekuensi lain bagi keberlangsungan hidup, alam, dan keberlanjutan sumber daya. Budaya ini lumrah terdapat dari orang-orang dengan pendapatan tinggi yang berasal dari bisnis-bisnis raksasa. Maka sangat wajar dalam sebuah diskusi tentang mendorong bisnis Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai amanat negara menuju kemandirian bangsa, pertanyaan yang muncul dari peserta diskusi justru adalah, “Ketimbang memajukan ekonomi mikro, kenapa pemerintah tidak mempertimbangkan mendorong aktivitas ekonomi pada skala industri yang memberikan kontribusi lebih banyak bagi PDB?”

Ukuran berdasarkan PDB ini membawa logika untuk mendorong perilaku yang memberi kontribusi besar bagi PDB. Efeknya insentif condong diberikan kepada jenis manusia PDB tinggi, dan distribusi kekayaan akan semakin didorong untuk terkonsentrasi pada segelintir orang. Padahal konsekuensi-konsekuensi bagi perilaku yang memberi kontribusi tinggi terhadap PDB masih perlu diperhatikan. Boleh jadi kenaikan permintaan terhadap kendaraan pribadi memberi sinyal positif bagi industri otomotif dan bisnis pom bensin, tapi konsekuensi lainnya adalah kemacetan, polusi, dan tingkat stres, serta kematian dapat mengikuti dalam porsi tertentu. Ada biaya-biaya sosial yang luput dalam perhitungan PDB. Dan gawatnya, ia tidak masuk dalam ukuran kesejahteraan.

Menyajikan Kompleksitas

Inilah yang perlu dibenah. Beberapa mencoba menggunakan logika akuntansi dan mencari cara memberi standar nilai yang adil bagi pengguna jasa restoran dan mereka yang memasak sendiri, mengeringkan dengan mesin cuci dan menjemur di bawah matahari agar keduanya mempunyai nilai kontribusi bagi PDB. Sementara yang lain mencoba melihat ini dari sudut pandang yang lebih holistik bahwa setiap keputusan tidak hanya menghasilkan satu konsekuensi yaitu pada aspek ekonomi saja, seperti yang hingga saat ini terukur dalam PDB. Konsekuensi ekonomi ini hanya salah satu, namun bukan satu-satunya. Masih ada aspek sosial, politik, lingkungan, dan macam-macam lainnya yang layak mendapat perhatian.

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) misalnya. Tidak hanya PDB, IPM memasukkan dua faktor lain yaitu pendidikan dan kesehatan warga negaranya sebagai ukuran kemajuan suatu negara. Indikator ini kini memperoleh tempat di PBB bersanding dengan PDB. Ketidakpuasan terhadap penekanan berlebihan terhadap PDB ini kemudian disebut oleh Amartya Sen sebagai gerakan indikator. Di Jepang pernah ada usulan untuk ukuran sanitasi, di Kanada ada percobaan ukuran modal social, bahkan juga ukuran untuk kebahagiaan. Bahkan ilmuwan Islam mencoba dengan ukuran yang dikenal sebagai maqashid al-syari’ah.

Joseph Stiglitz memberikan metafor yang menarik terkait ini. Jika sebuah negara kita andaikan seperti mobil, PDB akan menggambarkan ukuran kecepatan kita berkendara saat ini. Namun tanpa mempertimbangkan keberlangsungan sumber daya alam, kita kehilangan ukuran sisa bahan bakar yang memberi gambaran tentang seberapa lama lagi kita akan mampu berkendara. Seperti seseorang yang makan mewah hari ini tapi tak tahu seberapa banyak uangnya tersisa untuk makan esok hari atau seminggu ke depan.

Dengan perandaian mobil ini, Stiglitz tidak menawarkan satu ukuran tunggal untuk menggantikan PDB. Menurut Stiglitz, adalah sangat konyol untuk menggabungkan dasbor bensin dan dasbor kecepatan dalam satu dasbor dengan ukuran tunggal. Bayangkan jika kecepatan kita saat ini adalah 60 km/jam dengan bahan bakar yang membuat kita mampu menempuh perjalanan 500 km lagi, apakah dalam satu dasbor ukuran tunggal ia akan ditulis 560km? Jikapun ada, ini adalah mobil yang aneh. PDB tak perlu diganti, ia hanya perlu dilengkapi dengan disandingkan dengan ukuran-ukuran lainnya. Efeknya, informasi pasti akan terlihat lebih kompleks dan pertimbangan kebijakan akan lebih memakan waktu.

Ada kesadaran yang berusaha ditawarkan Stiglitz: bahwa PDB terlalu sederhana untuk mengukur kompleksitas kesejahteraan manusia. Meski dalam perjalanannya, permasalahan penetapan indikator obyektif untuk ukuran seperti modal sosial, kebahagiaan, dan maqashid masih jadi masalah klasik. Sangsi bahwa penetapan yang sempurna terhadap indikator-indikator baru ini dalam waktu dekat mungkin adalah sesuatu wajar. Pasalnya, pengukuran atas kebahagiaan contohnya adalah sesuatu yang terkait erat dengan emosi dan perasaan yang tak bisa ditarik indikator umum atasnya. Namun, seperti bagaimana ditawarkan Stiglitz, pengambil kebijakan sedang berhadapan dengan hal kompleks (baca: manusia), adalah konsekuensi logis jika untuk membacanya mensyaratkan peta yang kompleks pula.

Oleh: Ridho Haga Pratama*

*Pelajar Ekonomi penganut paham Tampanisme, Fans berat dunia Jurnalistik

Pernah dimuat di http://bacaekon.com/pdb-dan-ilusi-tentang-kemajuan-ekonomi/ pada 23 Desember 2015

Referensi utama: Stiglitz, J., Sen, A., Fittousi, Jean-Paul. 2011. Mengukur Kesejahteraan. Jakarta: Marjin Kiri

--

--