Putih, Mitos Kecantikan Perempuan Indonesia

Ridho Haga Pratama
4 min readAug 16, 2017
  • Judul : Putih: Warna Kulit, Ras, dan Kecantikan di Indonesia Transnasional
  • Jenis Buku : Nonfiksi
  • Penulis : Luh Ayu Saraswati
  • Penerjemah : Ninus D. Andanuswari
  • Penerbit : Marjin Kiri
  • Tahun Terbit : 2017
  • Tebal : 254 halaman

Dengan kriteria apakah seorang wanita dapat disebut cantik secara fisik? Setidaknya ada satu ciri dalam jawaban orang-orang yang akan kita temukan dominan konstan: berkulit putih. Mengapa? Tak banyak yang dapat dijawab selain bahwa selera bersifat relatif. Dan dalam urusan selera, tak perlu ada rasionalisasi. Kita dapat menanyakan kepada sekelompok masyarakat untuk membandingkan buah mana yang lebih enak antara apel dan jeruk, kemudian menemukan bahwa kedua kelompok penyuka kedua buah ini memiliki selisih jumlah massa yang tak banyak. Namun anehnya untuk selera cantik, relatifitas dalam bentuk keberagaman jawaban tak banyak ditemukan untuk jawaban lain selain putih. Relasi putih dan cantik agaknya tak sesederhana itu.

Kecurigaan ini bukannya tak berdasar. Perlu diingat bahwa warna kulit bukanlah sesuatu yang dapat dipilih. Ia adalah bawaan alami seseorang sejak lahir. Di Indonesia khususnya, warna alami penduduknya adalah sawo matang. Tak ada satupun legenda dan mitos sekalipun yang menganggap warna yang normal alami ini sebagai penyakit. Namun bagaimana penduduk yang memiliki kulit sawo matang dapat berangan memiliki kulit yang sama sekali asing baginya, kulit putih? Keanehan inilah yang coba dijawab oleh Luh Ayu Saraswati dalam buku ini.

Pertama-tama, fenomena relatifitas selera kecantikan di atas harus ditolak untuk dipandang sebagai fenomena alami. Bukanlah alami untuk putih diindentikkan dengan cantik. Cantik putih adalah konstruksi sosial, sebuah standar buatan, bukan kodrati. Melalui buku ini, Luh Ayu Saraswati akan menunjukkan bahwa untuk suatu warna kulit memperoleh dan mempertahankan legitimasinya menjadi warna yang ‘lebih cantik’ atas warna kulit lain, dalam prosesnya, selalu kait kelindan dengan motif politik dan laba. Pembaca akan diajak mempelajari bahwa bukan kebetulan untuk putih dianggap sebagai ideal kecantikan, sebagaimana bukan kebetulan juga iklan kosmetik kecantikan harus selalu menggunakan artis kulit putih, dan bukan kebetulan juga tak ada krim penghitam kulit yang diiklankan apalagi dijual.

Topik kajian yang dibawa Luh Ayu Saraswati ini sebenarnya bukan topik kajian yang benar-benar baru. Katrin Bandel misalnya, sebelumnya telah mencoba menjawab pertanyaan di atas dengan perspektif pascakolonial. Nusantara boleh jadi bertemu bangsa berkulit putih dalam ekspansi wilayah di masa-masa imperium kerajaan Majapahit, namun belum ada superioritas atas dasar warna kulit. Fenomena superioritas berdasarkan kriteria rasis warna kulit baru ada pada era kolonial Belanda atas Hindia. Sederhananya, Katrin Bandel berusaha menyatakan bahwa alih-alih fenomena alami, kecantikan yang dicirikan oleh warna kulit putih adalah standar warisan Belanda pada masa kolonial. Kesimpulan dari analisis Luh Ayu Saraswati pada masa kolonial tak berbeda jauh dengan analisis ini.

Luh Ayu Saraswati memang tak menyangkal bila kolonialisme oleh Belanda turut berkontribusi membangun makna cantik yang dicirikan dengan kulit putih hingga saat ini di Indonesia. Namun adalah salah jika menganggap bahwa kolonial adalah masa pertama nusantara mengidealkan putih sebagai ideal kecantikan. Sebagaimana akan dijelaskan dalam buku ini, jauh sebelum kolonialisme oleh Belanda dimulai, ideal kecantikan telah mulai dikonstruksi sejak diadaptasinya epos Ramayana di pulau Jawa pada abad ke-9. Di sinilah letak keunggulan pertama buku ini. Ia menentang mainstream dalam kajian sejarah Indonesia yang menganalisis menggunakan kolonialisme sebagai awal ceritanya.

Keunikan yang menjadi keunggulan lainnya buku ini adalah penggunaan emosi dan rasa sebagai lensa analisis untuk memahami sejarah warna kulit. Hal ini misalnya ditunjukkan dalam deskripsi kecantikan dewi Sita, istri Rama, yang bak bulan yang terang. Bulan yang putih dan cerah membangkitkan emosi dan rasa takjub penuh kekaguman untuk keindahannya menerangi malam. Dengannya, asosiasi yang bernilai positif pun melekat pada kulit putih. Hal ini kontras dengan bagaimana prabu Dasasya dideskripsikan. Raja yang menculik Sita itu digambarkan berkulit gelap seperti gelapnya awan kematian yang bergulung-gulung. Deskripsi kulit gelap Dasasya yang bagaikan awan kematian yang bergulung-gulung, berkebalikan dengan Sita, justru membangkitkan emosi negatif kengerian berhadapan dengan bencana badai. Dengan menggunakan lensa emosi, lagi-lagi Luh Ayu Saraswati mendobrak mainstream penelitian akademik yang selalu dituntut menjadi aktor rasional yang abai terhadap emosi.

Berdasarkan urutan linimasanya, buku ini akan menjelaskan konstruksi makna putih sebagai ideal cantik pada empat masa. Pertama masa prakolonial, sebagaimana disebutkan di atas, putih djelaskan menggunakan epos Ramayana sebagai objek analisis. Kedua pada masa kolonial, akan dijelaskan bagaimana Belanda mengkonstruksi putih ras Kaukasia, dan Jepang dengan putih Asianya sebagai ras superior. Selanjutnya pada masa pascakolonial, analisis beralih pada bagaimana cantik asli Indonesia berusaha dikonstruksi membalas hegemoni putih pada masa kolonial. Kemudian terakhir pada masa globalisasi, akan dijelaskan proses konstruksi cantik kosmopolitan yang lepas dari persoalan ras sebagaimana dua masa sebelumnya. Pada ketiga masa terakhir ini, iklanlah yang dijadikan objek, tetap dengan emosi dan rasa sebagai lensa analisis. Sayangnya, hingga akhir bukupun penulis juga tak dapat memberi jawaban pasti bagaimana putih sebagai cantik ideal di Indonesia bermula.

Meski jelas merupakan studi akademik budaya dan ras, namun buku ini tetap memungkinkan untuk dibaca masyarakat awam dan pelajar studi di bidang lainnya seperti manajemen pemasaran. Terkhusus untuk kelompok pembaca terakhir, buku ini dapat menjadi sumber pengetahuan yang baik memahami bagaimana iklan yang menjadi objek analisis dominan mengkonstruksi mindset masyarakat dalam industri kosmetik. Buku ini juga dapat menjadi rekan diskusi yang menantang. Mengingat studi sosiologi macam ini cenderung mengkritik penggunaan budaya untuk kepentingan politik dan ekonomi yang meliputi manajemen yang berorientasi laba. Namun terlepas dari itu semua, buku ini tetap bacaan menarik bagi siapapun yang tertarik dengan studi gender, sejarah budaya, dan kejian feminis.

Oleh: Ridho Haga Pratama*

*Pemuda dengan idealisme bahwa satu-satunya yang konstan adalah ketampanannya

--

--